Senin, 25 Juni 2018

Larangan Hubungan Dengan Atasanku

SHARE

Larangan Hubungan Dengan Atasanku



hiburandewasa,- Mbak Lia kurang lebih baru 2 minggu bekerja sebagai atasanku sebagai Accounting Manager. Sebagai atasan baru, ia sering melakukan panggilan ke ruang untuk menjelaskan overbudget yang terjadi pada bulan sebelumnya, atau untuk menjelaskan laporan mingguan yang kubuat. Aku sendiri sudah termasuk staf senior. Tapi mungkin karena latar belakang pendidikan saya tidak cukup mendukung, manajemen memutuskan merekrutnya. Ia berasal dari sebuah perusahaan konsultan keuangan.

Usianya kutaksir sekitar 25 hingga 30 tahun. Sebagai atasan, sebelumnya kupanggil "Bu", walau usiaku sendiri 10 tahun di atasnya. Tapi atas permintaanya sendiri, waktu yang lalu, ia mengatakan lebih suka bila di panggil "Mbak". Waktu saat itu mulai terbina lingkungan dan hubungan kerja yang hangat, tidak terlalu formal. Keunggulan karena sikapnya yang ramah. Ia sering langsung menyebut namaku, sesekali, saat sedang bekerja, dan menyebut "Pak".

Dan tanpa kusadari pula, diam-diam aku merasa nyaman dan nyaman bila dibandingkan dengan yang cantik dan lembut. Ia memang menggemaskan karena bola bola bisa saja sewaktu-waktu dapat bernar-binar, atau menatap dengan tajam. Tapi di balik itu semua, itu juga suka mendikte. Mungkin karena telah menduduki jabatan yang cukup tinggi di dalam waktu yang relatif muda, tentu saja dia cukup tinggi untuk menyuruh seseorang melaksanakan apa yang diinginkannya.

 https://bit.ly/2Lb3tHV

Mbak Lia selalu berpakaian formal. Ia selalu dimasukkan blus dan rok hitam yang agak sedikit di atas lutut. Jika sedang berada di ruang kerja, diam-diam aku pun sering melihat lekukan pinggulnya karena dia bangkit mengambil file dari rak folder di belakangnya. Walau bagian bawah roknya lebar, tapi aku bisa melihat pinggul yang samar-samar tercetak dari baliknya.

Di dalam ruang kerja yang besar, tepat di samping meja kerja, terdapat seperangkat sofa yang biasa dipergunakannya menerima tamu-tamu perusahaan. Sebagai Manajer Akuntansi, tentu saja ada pembicaraan-rahasia 'privasi' yang lebih nyaman dilakukan di ruang kerja di ruang rapat.

Aku merasa beruntung jika dipanggil Mbak Lia untuk membahas arus kas di sofa itu. Aku selalu duduk tepat diungkapan. Dan jika kami terlibat dalam pembicaraan yang cukup serius, ia tidak melihat roknya yang tersingkap. Di situlah keberuntunganku. Aku dapat melirik sebagian kulit paha yang berwarna gading. Kadang-kadang lututnya agak sedikit terbuka untuk mengintip ujung pahanya. Tapi mataku selalu terbentur dalam kegelapan. Andai saja roknya tersingkap lebih tinggi dan kedua lututnya lebih terbuka, tentu akan dapat kupastikan apakah bulu-bulu halus yang tumbuh di lengannya juga tumbuh di sepanjang paha hingga ke pangkalnya. Jika kedua lututnya rapat kembali, lirikanku berpindah ke betisnya. Betis yang indah dan bersih. Terawat. Ketika aku terlena menatap erat,

“Jhony, aku merasa bahwa kau sering melirik ke arah betisku. Apakah dugaanku salah? ”Aku terdiam sambil tersenyum untuk menyembunyikan jantungku yang tiba tiba berdebar.

"Jhony, salahkah dugaanku?"

“Hmm .., ya, benar Mbak,” jawabku mengaku, jujur. Mbak Lia tersenyum sambil menatap mataku.

"Mengapa?"

Aku membisu. Terasa sangat berat menjawab pertanyaan sederhana itu. Tapi kompilasi menengadah menatap wajah, kulihat bolaosis berbinar-binar menunggu jawabanku.

“Saya suka kaki Mbak. Suka betis Mbak. Indah. Dan .., ”setelah menarik nafas panjang, kukatakan alasan yang sebenarnya.

"Saya juga sering menganggap-duga, apakah kaki Mbak juga ditumbuhi bulu-bulu."

"Persis seperti yang kuduga, kau pasti berkata jujur, apa adanya," kata Mbak Tia sambil sedikit mengatur kursi rodanya.

“Agar kau tidak penasaran-dugaan, bagaimana kalau kuberi kesempatan memeriksanya sendiri?”

“Sebuah kehormatan besar untukku,” jawabku sambil membungkukan kepala, sengaja sedikit bercanda untuk mencairkan percakapan yang kaku itu.

"Kompensasinya apa?"

“Sebagai rasa hormat dan tanda terima kasih, akan kuberikan sebuah ciuman.”

“Bagus, aku suka. Bagian mana yang akan kau cium? ”

“Betis yang indah itu!”

"Hanya sebuah ciuman?"

"Seribu kali pun aku bersedia."

Mbak Tia tersenyum manis dikulum. Ia berusaha manahan tawanya.

"Dan aku yang menentukan di bagian mana saja yang sudah kau cium, oke?"

"Kesepakatan, Tuan Putri!"

"Aku suka!" Kata Mbak Lia sambil bangkit dari sofa.

Ia melangkah ke mejanya dan menariknya ke luar dari kolong mejanya yang besar. Setelah menghempaskan pinggulnya di atas kursi kursi yang besar dan empuk itu, Mbak Lia tersenyum. Matanya berbinar-binar menyerupai menaburkan sejuta pesona birahi. Pesona yang membutuhkan sanjungan dan pujaan.

“Periksalah, Jhony. Berlutut di depanku! ”Aku membisu. Terpana mendengar perintahnya.

"Kau tidak mau memeriksanya, Jhony?" Tanya Mbak Lia sambil sedikit merenggangkan kedua lututnya.

Sejenak, aku berusaha meredakan debar-debar jantungku. Aku belum pernah diperintah seperti itu. Apalagi diperintah untuk berlutut oleh seorang wanita. Bibir Mbak Lia masih bisa menggoyangkan dia lebih merenggangkan kedua lututnya.

“Jhony, kau tahu apa yang tersembunyi di pangkal pahaku?” Aku menggeleng lemah, seolah ada kekuatan yang tiba-tiba datang dari-sendi-sendi di sekujur tubuhku.

Tatapanku terpaku ke dalam keremangan di antara celah dada Mbak Lia yang meregang. Akhirnya aku bangkit menghampirinya, dan berlutut di emosional. Sebelah lututku pengganti karpet. Wajahku menengadah. Mbak Tia masih tersenyum. Telapak khusus mengusap pipiku beberapa kali, lalu berpindah ke rambutku, dan sedikit putar kepalaku agar menunduk ke arah kunci.

“Ingin tahu warnanya?” Aku mengangguk tak berdaya.

"Kunci dulu pintu itu," kata sambil menunjuk pintu ruang. Dan dengan patuh aku melaksanakan perintahnya, kemudian berlutut kembali di kadar.

Mbak Lia menopangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya. Gerakannya lambat seperti bermalas-malasan. Pada saat yang mendatar aku mendapat hadiah hingga ke pangkal pahanya. Dan kali ini tatapanku terbentur pada secarikbaju putih putih. Pasti ia memakai G-String, kataku dalam hati. Sebelum paha kanannya benar-benar tertopang di atas paha kirinya, aku masih melihat bulu-bulu yang ada. Segitiga yang hanya selebar kira-kira dua jari itu sedikit untuk bulu yang mengitari pangkal pahanya. Saat ini kata kulirik bayangan lipatan bibir di balik tulisan itu.

 https://bit.ly/2J3r0Ko

“Suka?” Aku mengangguk sambil mengangkat kaki kiri Mbak Lia ke atas lututku.

Ujung hak sepatunya terasa menusuk. Kulepas klip tali sepatunya. Lalu aku menengadah. Sambil lepas sepatu itu. Mbak Tia mengangguk. Tak ada komentar penolakan. Aku menunduk kembali. Mengelus-elus. Kakinya mulus tanpa cacat. Ternyata betisnya yang berwarna gading itu mulus tanpa bulu halus. Tapi di bagian atas kulék yang ditumbuhi bulu-bulu halus yang agak kehitaman. Sangat kontras dengan warna kulitnya. Aku terpana. Mungkinkah mulai dari atas lutut hingga .., hingga .. Aah, aku menghembuskan nafas. Rongga dadaku mulai terasa sesak. Wajahku sangat dekat dengan lututnya. Termasuk nafasku sedang membuat bulu-bulu itu meremang.

"Indah sekali," kataku sambil mengelus-elus betisnya. Kenyal.

“Suka, Jhony?” Aku mengangguk.

“Tunjukkan bahwa kau suka. Tunjukkan bahwa betisku indah! ”

Aku mengangkat kaki Mbak Lia dari lututku. Sambil tetap mengelus betisnya, kuluruskan kaki yang menekuk itu. Aku sedikit membungkuk agar bisa mengecup tulang itu. Pada kecupan yang kedua, saya menjulurkan lidah agar dapat mengecup sambil menjilat, menunjuk kaki indah itu. Akibat kecupanku, Mbak Lia menurunkan paha kanan dari paha kirinya. Dan tak sengaja, kembali mataku terpesona melihat bagian dalam kanannya. Karena ingin melihat lebih jelas, kugigit bagian bawah roknya kemudian menggerakkan kepalaku ke arah perutnya. Ketika melepaskan gigitanku, kudengar tawa tertahan, kemudian ujung jari-jari tangan Mbak Lia mengangkat daguku. Aku menengadah.

“Kurang jelas, Jhony?” Aku mengangguk.

Mbak Lia berambut pirang sambil mengusap-usap rambutku. Lalu telapak keputusan bagian belakang kepalaku kamar aku menunduk kembali. Di depan mataku kini terpampang keindahan pahanya. Tak pernah aku melihat paha semulus dan seindah itu. Bagian atas pahanya ditumbuhi bulu-bulu halus kehitaman. Bagian dalamnya juga ditumbuhi tetapi tidak selebat bagian atasnya, dan warna kehitaman itu ternyata memudar. Sangat kontras dengan pahanya yang berwarna gading.

Aku merinding. Karena ingin melihat paha itu lebih utuh, kuangkat kaki kanannya lebih tinggi lagi sambil mengecup bagian dalam lututnya. Dan paha itu semakin jelas. Menawan. Di paha bagian belakang mulus tanpa bulu. Karena gemas, kukecup berulang kali. Kecupan-kecupanku makin lama semakin tinggi. Dan kompilasi hanya mengakses kira-kira selebar telapak tangan dari pangkal pahanya, kecupan-kecupanku berubah menjadi ciuman yang panas dan basah.

Sekarang hidungku sangat dekat dengan segitiga yang bergerak pangkal pahanya. Karena sangat dekat, walau tersembunyi, dengan jelas dapat kulihat bayangan bibir kewanitaannya. Ada segaris kebasahan terselip membayang di bagian tengah segitiga itu. Kebasahan yang tepat rambut-rambut ikal yang menyelip dari kiri kanan G-stringnya. Sambil menatap pesona di depan mataku, aku menarik nafas dalam-dalam. Tercium aroma segar yang membuatku menjadi lebih tak berdaya. Aroma yang memaksaku terperangkap di antara kedua belah paha Mbak Lia. Mau kusergap aroma itu dan menjilat kemulusannya.

Mbak Lia menghempaskan belanja ke sandaran kursi. Menarik nafas berulang kali. Sambil mengusap-usap rambutku, dibuatnya kaki kanannya untuk rok wanita yang tersingkap hingga tertahan di atas pangkal paha.

“Suka Jhony?”

“Hmm .. Hmm ..!” Jawabku bergumam sambil duduk ciuman ke betis dan lutut kirinya.

Lalu kuraihirkan kaki kanannya, dan ulangkan telapaknya di pundakku. Kucium lipatan di belakang celananya. Mbak Lia menggelinjang sambil menarik rambutku dengan manja. Lalu kompilasi ciuman-ciumanku merambat ke paha bagian dalam dan lama lama mendekati pangkal pahanya, terasa tarikan di rambutku makin keras. Dan kompilasi bibirku mulai mengulum rambut-rambut ikal yang menyembul dari balik G-stringnya, tiba-tiba datang Mbak Liaambah kepalaku.

Aku tertegun. Menengadah. Kami saling menatap. Tak lama kemudian, sambil tersenyum menggoda, Mbak Lia menarik telapak tangan dari pundakku. Ia lalu menekuk dan menguasai telapak kaki kanannya di sisi kursi. Pose yang sangat memabukkan. Sebelah kaki menekuk dan membuka lebar di atas kursi, dan yang lain lagi menjuntai ke karpet.

“Suka Jhony?”

"Hmm .. Hmm ..!"

"Jawab!"

“Suka sekali!”

Pemandangan itu tak lama. Tiba-tiba saja Mbak Tia merapatkan kedua pahanya sambil menarik rambutku.

“Nanti ada yang melihat bayangan kita dari balik kaca. Masuk ke dalam, Jhony, ”kata sambil menunjuk kolong mejanya.

Aku terkesima. Mbak Tia merenggut bagian kepalaku, dan menariknya perlahan. Aku tak berdaya. Tarikan pelan itu tak sanggup kutolak. Lalu Mbak Sendiri tiba-tiba muncul ke dua pahanya dan mendaratkan mulut dan hidungku di pangkal paha itu. Kebasahan yang terselip di antara kedua bibir kewanitaan terlihat semakin jelas. Semakin basah. Dan di situlah hidungku mendarat. Aku menarik nafas untuk menghirup aroma yang sangat kokoh. Aroma yang sedikit seperti daun pandan tapi mampu membius saraf-saraf di rongga kepala.

“Suka Jhony?”

"Hmm .. Hmm ..!"

“Sekarang masuk ke dalam!” Ulangnya sambil menunjuk kolong mejanya.

Aku merangkak ke kolong mejanya. Aku sudah tak bisa berpikir waras. Tak peduli dengan segala kegilaan yang sedang terjadi. Tak peduli dengan etika, dengan norma-norma bercinta, dengan sakral dalam perkintaan. Aku hanya peduli dengan kedua belah paha mulus yang akan menjepit leherku, jari-jari tangan lentik yang akan menjambak rambutku, telapak tangan yang akan membuat bagian ujung kepalaku, aroma yang akan menerobos hidung dan memenuhi rongga dadaku, kelembutan dan kehangatan dua buah bibir kewanitaan yang menjepit lidahku, dan tetes-tetes birahi dari bibir kewanitaan yang harus kujilat berulang kali agar akhirnya dihadiahi segumpal lendir orgasme yang sudah sangat ingin kucucipi.

Di kolong meja, Mbak Lia membuka kedua belah pahanya lebar-lebar. Aku mengulurkan tangan untuk meraba celah basah di antara pahanya. Tapi ia menepis tanganku.

“Hanya lidah, Jhony! BAIK?"

Aku mengangguk. Dan dengan cepat membenamkan wajahku di G-string yang bergerak pangkal pahanya. Menggosok-gosokkan hidungku sambil menghirup aroma pandan itu sedalam-masuk. Mbak Lia terkejut sebentar, lalu ia tertawa manja sambil mengusap-usap rambutku.

"Rupanya kau sudah tidak sabar ya, Jhony?" Sambil sambil melingkarkan pahanya di leherku.

"Hm ..!"

"Haus?"

"Hm!"

“Jawab, Jhony!” Sembunyi sambil menyelipkan perasaan untuk mengangkat daguku. Aku menengadah.

"Haus!" Jawabku singkat.

Tangan Mbak Lia bergerak melepaskan tali G-string yang tepat di kiri dan kanan pinggulnya. Aku terpana menatap dua buah bibir merah yang mengkilap. Sepasang rubah yang di bagian atasnya tonjolan daging pembungkus clit yang berwarna merah muda. Aku termangu menatap keindahan yang terpampang tepat di depan mataku.

“Jangan diam saja. Jhony! ”Kata Mbak Lia sambil memasukkan bagian kepala kepalaku.

"Hirup aromanya!" Sambungnya sambil memasukkan kepalaku ke hidungku terselip di antara bibir kewanitaannya.

Pahanya menjepit leherku membuat aku tidak dapat bergerak. Bibirku terjepit dan tertekan di antara dubur dan bagian bawah vaginanya. Karena harus bernafas, aku tak punya pilihan kecuali menghirup dari rak bibir kewanitaannya. Hanya sedikit udara yang dapat kuhirup, tapi menyenangkan. Aku menghunjamkan hidungku lebih dalam lagi. Mbak Lia terpekik. Digiping dan digosok-gosokkannya dengan pembakar hingga hidungku berlumuran tetes-tetes birahi yang mulai mengalir dari sumbernya. Aku mendengus. Mbak Lia menggelinjang dan kembali mengangkat pinggulnya. Kuhirup aroma kewanitaannya dalam-dalam, seolah vaginanya adalah nafas kehidupannku.

"Fantastis!" Kata Mbak Lia sambil mendorong kepalaku dengan lembut. Aku menengadah. Ia tersenyum menatap hidungku yang telah licin dan basah.

"Enak kan?" Sambungnya sambil membelai ujung hidungku.

“Segar!” Mbak Lia tertawa kecil.

“Kau pandai memanjakanku, Jhony. Sekarang, kecup, jilat, dan hisap sepuas-puasmu. Tunjukkan bahwa kau memuja ini, ”kata sambil menyibakkan rambut-rambut ikal yang sebagian menyentuhnya bibir kewanitaannya.

“Jilat dan hisap dengan rakus. Tunjukkan bahwa kau memujanya. Tunjukkan rasa hausmu! Jangan ada setetes pun yang minta! Tunjukkan dengan rakusingku ini adalah peristiwa pertama dan yang terakhir bagimu! ”

Aku dibuang dengan kata-katanya. Aku tak peduli ada nada perintah di setiap kalimat yang diucapkannya. Aku memang sangat lapar dan haus untuk mereguk kelembutan dan kehangatan vaginanya. Kerongkonganku terasa panas dan kering. Aku merasa benar-benar haus dan ingin segera mendapatkan segumpal lendir yang akan dihadiahkannya untuk membasahi kerongkongannku. Lalu bibir kewanitaannya kukulum dan kuhisap agar semua kebasahan yang melekat di situ mengalir ke kerongkonganku. Kedua bibir kewanitaannya kuhisap-hisap bergantian.

Kepala Mbak Lia terkulai di sandaran kursinya. Kaki kanannya melingkar menjepit leherku. Telapak kaki kirinya menginjak bahuku. Pinggulnya terangkat dan terhempas di kursi berulang kali. Sesekali pinggul itu berputar. Ingin lidah yang bergerak liar di dinding kewanitaannya. Ia merintih setiap kali lidahku menjilat clitnya. Nafasnya mengebu. Kadang-kadang ia memekik sambil menjambak rambutku.

“Ooh, ooh, Jhony! Jhony! ”Dan kompilasi clitnya kujepit di antara bibirku, lalu kuhapkan dan permainkan dengan ujung lidahku, Mbak Lia merintih menyebut-nyebut namaku ..

“Jhony, nikmat sekali sayang .. Jhony! Ooh .. Jhony! ”

Ia menjadi pembohong. Telapak tempat makan menghentak-hentak di bahu dan kepalaku. Paha kanannya sudah tidak melilit leherku. Kaki itu sekarang diangkat dan tertekuk di kursinya. Mengangkang. Telapaknya menginjak kursi. Sebagai gantinya, kedua tangan Mbak Lia menjambak rambutku. Menekan dan menggerak-gerakkan kepalaku sekehendak leher.

“Jhony, julurkan lidahmuu! Hisap! Hisaap! "

Aku menjulurkan lidah sedalam -di. Membenamkan wajahku di vaginanya. Dan mulai kurasakan kedutan-kedutan di bibir vaginanya, kedutan yang menghisap lidahku, mengundang agar masuk lebih dalam. Beberapa detik kemudian, lendir mulai terasa di ujung lidahku. Kuhisap seluruh vaginanya. Aku tak ingin ada setetes pun yang terbuang. Inilah hadiah yang kutunggu-tunggu. Hadiah yang dapat menyejukkan kerongkonganku yang kering. Kedua bibirku kubenamkan sedalam-kulit agar bisa langsung menghisap dari bibir vaginanya yang mungil.

“Jhony! Hisap Jhony! "

Aku tak tahu apa yang dilakukan Mbak Lia bisa terdengar dari luar ruangan. Seandainya rintihan itu terdengar pun, aku tak peduli. Aku hanya peduli dengan lendir yang dapat kuhisap dan kutelan. Lendir yang hanya segumpal kecil, hangat, kecut, yang mengalir membasahi kerongkonganku. Lendir yang langsung ditumpahkan dari vagina Mbak Lia, dari pinggul yang terangkat agar lidahku terhunjam dalam.

“Oh, fantastis,” gumam Mbak Lia sambil menghenyakkan kembali ke atas pinggulnya kursinya.

Ia menunduk dan mengusap-usap kedua belah pipiku. Tak lama kemudian, jari-jari biasa menengadahkan daguku. Sejenak saya berhenti menjilat-jilat sisa-sisa cairan di permukaan kewanitaannya.

"Aku puas sekali, Jhony," katanya. Kami saling menatap. Matanya berbinar-binar. Sayu. Ada kelembutan yang memancar dari bola matanya yang menatap sendu.

"Jhony."

"Hm .."

“Tatap mataku, Jhony.” Aku menatap bola gelap.

“Jilat cairan yang bersih sampai bersih”

"Hm .." jawabku sambil mulai menjilati vaginanya.

“Jangan menunduk, Jhony. Jilat sambil menatap mataku. Aku ingin melihat erotisme di bola matamu membuat menjilat-jilat vaginaku. ”

Aku menengadah untuk menatap matanya. Sambil melingkarkan kedua lenganku di pinggulnya, aku mulai menjilat dan menghisap kembali cairan lendir yang tersisa di lipatan-lipatan bibir kewanitaannya.

"Kau memujaku, Jhony?"

“Ya, aku memuja betismu, pahamu, dan di atas segalanya, yang ini .., muuah!” Jawabku sambil mencium kewanitaannya dengan mesra sepenuh hati.

Minimal deposit 50.000,-
Minimal Withdraw 100.000,-
Support 7 Bank BCA,MANDIRI,BNI,BRI.DANAMON,CIMB NIAGA,PERMATA
Silahkan Hubungi Kami:
Pin bbm: D60F146A
WECHAT: domino757
LINE: domino757
whatsapp: +855 16499827
https://bit.ly/2LETBqr



SHARE

Author: verified_user

0 komentar: